Selasa, 05 April 2016

Kisruh Reklamasi Pantai Jakarta

Kisruh reklamasi pantai teluk Jakarta yang telah berlarut-larut sejak lebih sepuluh tahun terakhir ini akhirnya tersentuh juga oleh KPK. Operasi tangkap tangan KPK yang sangat ditakuti kalangan koruptor itupun akhirnya menjerat para oknum pejabat dan pengembang di seputar reklamasi pantai Jakarta. Tertangkapnya seorang anggota DPRD dan Direktur Agung Podomoro Land serta dicekalnya pemilik Agung Sedayu Group, mulai menguak praktek-praktek seperti apa yang terjadi di balik rencana muluk reklamasi pantai Jakarta oleh para pengembang naga tersebut.


Dari pemberitaan yang terungkap, awalnya pihak pengembang tersangka penyuap ingin agar kewajiban sebesar 15% dari alokasi lahan atau dari nilai NJOP dikurangi menjadi 5% saja karena dirasakan memberatkan. Pengembang juga ingin agar Perda Zonasi pulau-pulau yang direklamasi segera ditetapkan sebagai payung hukum supaya mereka bisa langsung memasarkan bisnis propertinya untuk mendapatkan dana segar. Untuk itulah mereka terpaksa menyuap salah seorang anggota DPRD Jakarta hingga bermiliar-miliar rupiah. Anggota dewan yang katanya terhormat ini adalah seorang Ketua Komisi sehingga cukup berpengaruh dalam proses pembuatan Perda yang dinanti-nanti.


Namun begitu, meskipun sudah terjadi OTT oleh KPK dan dikatakan pula oleh salah seorang komisioner KPK bahwa tangkapan ini adalah sebuah “grand corruption”, masih juga banyak pihak yang belum sadar. Mereka yang sedang asyik bermain-main dengan reklamasi pantai Jakarta masih tampak bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mereka mengatakan, “tidak ada masalah dengan reklamasi”, “reklamasi tetap dilanjutkan”, “besaran pajak 15% bisa dinegosiasi lagi”, “izin reklamasi sudah di tangan”, dan berbagai pernyataan lain yang senada. Tampaknya mereka hanya berusaha untuk tetap tak bergeming. Meskipun aksi OTT oleh KPK sebenarnya sudah membuat mereka sedikit guncang juga.


Mari kita ikuti saja aksi-aksi KPK selanjutnya dalam menangani kasus ini. Apakah kasus hukum ini cukup dilokalisasi pada delik penyuapan tersangka MS dan AW serta AS saja? Ataukah KPK berani membongkar kasus ini lebih jauh? Penulis menduga sekaligus berharap bahwa aksi OTT oleh KPP ini hanyalah pintu masuk saja. Setelah mendalami kasus ini, sebenarnya KPK sudah berada di tengah-tengah pusaran karut marut reklamasi Jakarta yang dipenuhi beragam intrik kepentingan korporasi-korporasi naga tanah air.


Dari kasus OTT ini, KPK seharusnya sudah bisa melihat gambar besar betapa bobroknya praktek pembangunan di tanah air. Sebuah peraturan sudah bisa dijadikan komoditi yang bisa dipesan oleh pengembang properti. Kasus proyek reklamasi atau Giant Sea Wall ini tidak jauh berbeda dengan proyek Jembatan Selat Sunda maupun reklamasi Teluk Benoa di Bali. Sangat bisa diduga, semuanya didasari oleh pesan memesan Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, dan sebagainya. Sangat bisa diduga pula, berbagai dokumen kelengkapan lainnya pun tidak luput dari permainan kelompok korporasi ini. Mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Urban Design Guideline (UDGL), dan berbagai dokumen kelengkapan lainnya tampaknya adalah dokumen-dokumen pesanan yang semua ada harganya.


Bagaimana bisa misalnya, RTRW Jakarta 2010-2030 tertunda-tunda pengesahannya hingga beberapa tahun, dan beberapa saat kemudian disahkan setelah ada rencana reklamasi diselipkan ke dalamnya? Bagaimana mungkin desain reklamasi 17 pulau yang demikian masif dan belum didasari AMDAL yang memadai bisa menjadi bagian RTRW? Bagaimana bisa pula, amdal reklamasi pulau diselesaikan dengan begitu cepat? Padahal untuk proyek yang berdampak luas diperlukan kajian dampak lingkungan melalui survey dan pendataan lapangan. Mulai dari kajian keragaman hayati hingga pembuatan model-model lingkungan seperti model arus laut, model arus muara sungai, hingga pula pendataan keluarga-keluarga nelayan yang terdampak maupun kelompok masyarakat lainnya, dan sebagainya. Pembuatan amdal juga tidak bisa per-pulau hanya karena setiap pulau dimiliki sebuah pengembang. Diperlukan amdal untuk keseluruhan reklamasi 17 pulau tersebut, dimana hal ini belum ada.


Dari sisi penegakan hukum, tertangkap tangannya suap-menyuap Raperda ini harus bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk membongkar semua dugaan praktek yang memalukan itu. Jika tidak, maka praktek pembangunan di Jakarta akan semakin menjauh dari tujuan melayani kepentingan umum dan melestarikan lingkungan. Praktek pembangunan yang bisa diacak-acak oleh kepentingan korporasi-korporasi modal raksasa sudah saatnya dihentikan. Presiden hendaknya segera meminta Gubernur Jakarta untuk menghentikan sementara waktu (moratorium) proses reklamasi dan membekukan semua proses perizinan proyek terkait.




Akar Masalah


Bercermin dari kasus ini, pemerintah hendaknya mengkaji ulang kembali pola pembangunan kota-kota yang dijalankan selama ini. Sudah sejak lama sekali pembangunan kota-kota tanah air dikendalikan oleh para pengembang besar. Hampir semua instrumen perencanaan dan peraturan kota dipengaruhi kepentingan pengembang. Baik dalam skema penataan kota maupun pembangunan kota-kota baru. Keadaan ini tentunya sangat memprihatinkan karena dampaknya adalah tujuan-tujuan sosial dan lingkungan yang selalu terabaikan. Akibatnya kota-kota juga tumbuh secara semrawut dan merubah lahan-lahan pertanian secara masif. Peran pemerintah menjadi seperti pelayan pengembang saja.


Penguasaan lahan berskala besar oleh pengembang swasta di semua kota metropolitan ini menyebabkan mereka menguasai penuh pemanfaatan lahan miliknya. Begitu pula kejadian di pantai Jakarta, reklamasi dilakukan sendiri oleh pengembang. Para pengembang bisa-bisanya membuat sendiri rencana tata ruang di kawasan tersebut. Meskipun perlu mendapatkan izin prinsip, izin reklamasi dan izin pemanfaatan lahan, semua prosedur tersebut hanya formalitas saja. Dari terungkapnya kasus ini tampaknya semua perizinan dan peraturan itu memang ada harganya.


Menjadi pertanyaan kritis di sini, di mana letak akar masalahnya? Bukankah pengembang swasta memang memiliki motif mencari keuntungan, sehingga bukan menjadi perhatiannya untuk terlalu peduli lingkungan ataupun kepentingan umum? Bukankah memang selalu ada ketidakjelasan arahan tata ruang, di mana pembangunan hendak didorong dan di mana pembangunan dilarang? Apakah adanya Iklim yang membiarkan ini memang menunjukkan praktek makelarisasi dan perburuan rente yang semakin merajalela? Yang jelas, iklim pembiaran ini adalah seiring sejalan dengan absennya peran dan kapasitas sektor publik.




Langkah ke Depan


Sebagai sebuah langkah koreksi kelemahan pengelolaan pembangunan yang dijalankan pemerintah selama ini, pertama-tama harus ada kemauan politik yang kuat untuk menempatkan sektor publik sebagai pemimpin dalam pembangunan. Ketegasan ini tidak boleh dilemahkan oleh anggapan kurangnya anggaran, lemahnya lembaga pemerintah, maupun ketakutan akan tudingan dominasi negara dan mematikan pasar bisnis properti. Kemauan politik yang kuat akan melampaui kekuatan lobi-lobi kelompok kepentingan yang selalu menghembuskan hal-hal di atas dan akan tegas terhadap perilaku birokrasi yang mudah dipengaruhi oleh pandangan yang melemahkan tersebut.


Pemerintah tidak bisa membiarkan absennya negara lebih lama lagi. Untuk itu diperlukan adanya arah kebijakan yang jelas dan tegas dalam pembangunan kota dan pengembangan kawasan, penguasaan lahan skala besar (bank tanah), konsentrasi pembangunan infrastruktur, pembiayaan pembangunan jangka panjang, pengelolaan kawasan, pengendalian kawasan lindung, dan kebijakan lainnya. Kebijakan-kebijakan inilah yang perlu dijamin pelaksanaannya melalui kerangka regulasi yang singkron dan kelembagaan yang kuat dan profesional. Di berbagai negara ditetapkan undang-undang pembangunan kota untuk menjamin pembangunan kota-kota berjalan dengan baik.


Untuk melaksanakan arah kebijakan tersebut, dibutuhkan strategi pembangunan kota yang dipimpin oleh lembaga pelaksana yang profesional, terhindar dari miskoordinasi lembaga dan jauh dari praktek spekulasi dan makelarisasi. Untuk itu diperlukan adanya set-up kelembagaan publik yang memiliki peran dan kewenangan jelas, baik dalam tahap persiapan maupun di tahap pelaksanaan dan pengelolaan. Adanya kapasitas yang mumpuni untuk mewujudkan syarat-syarat di atas, baik kapasitas pemahaman, kemampuan (skill), teknologi dan kapasitas manajemen aset.


Sebagai langkah aksinya, pemerintah harus segera memantapkan peran dan meningkatkan kapasitas pengembang-pengembang publik, baik BUMN maupun BUMD. Lembaga ini harus memiliki kapasitas yang memadai untuk memimpin pengembangan kawasan secara terpadu, dilengkapi dengan berbagai perangkat yang mendukung seperti Agency Integrity Pact, Land Speculation Report Center, dan sebagainya, sebagaimana diterapkan di lembaga-lembaga sejenis di negara lain. Dari Malaysia kita bisa bercermin pada Perbadanan Putra Jaya dan Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor. Dari Jepang ada Urban Renaissance Agency yang berpengalaman mereklamasi kawasan Odaiba di pantai selatan Tokyo. Di Korea Selatan ada Korean Land and Housing Corporation. Sedangkan dari Singapura ada Urban Redevelopment Authority dan Housing and Development Board.


Kembali ke persoalan reklamasi, selain pentingnya menguatkan pendekatan public sector led development dalam konteks pembangunan kota-kota, keberadaan pantai utara Jakarta memang memiliki tingkat kepentingan nasional yang tinggi. Selain sebagai Daerah Khusus Ibukota, Jakarta termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN) di dalam RTRW Nasional. Apalagi dampak lingkungan yang akan ditimbulkan sangat luas mulai dari teluk Jakarta hingga ke Laut Jawa dan meliputi wilayah pantai utara Pulau Jawa muullai dari Banten, Jakarta hingga Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan dari aliran sungai, dampaknya hingga pula menjangkau daerah aliran sungai (DAS) 13 sungai sejak dari hulu di Jawa Barat dan Banten hingga bermuara di Teluk Jakarta. Dari sisi pembangunan sektoral, reklamasi pantai Jakarta terkait pula dengan sektor Lingkungan Hidup dan Kelautan dan Perikanan. Begitu pula dampak sosialnya yang sangat luas, harus menjadi perhatian serius. Mengingat tingginya kepentingan nasional dan luasnya dampak penting yang akan ditimbulkannya, maka reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah pusat.


Presiden sebaiknya menugaskan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional untuk memimpin perencanaan dan pengendalian pembangunan di Teluk Jakarta tersebut. Sebaiknya Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) diaktifkan lagi sebagai wadah bagi para-pihak untuk urun-rembug mengkaji dampak-dampak reklamasi dan membangun visi ke depan secara objektif. Termasuk pula pihak-pihak Kementerian terkait seperti KLHK dan KKP. Sedangkan para pihak pengembang swata sebaiknya duduk manis saja menunggu peluang-peluang investasi apa yang akan tersedia untuk mereka.


Reklamasi bukanlah hal yang tabu dalam pembangunan kota-kota di tepi pantai. Namun di tengah-tengah iklim pembangunan kota yang bobrok seperti di Indonesia ini, reklamasi hanya menjadi ajang kegaduhan, selain tentunya menjadi ajang OTT bagi KPK. Reklamasi yang baik adalah reklamasi yang didasarkan oleh sebuah penyusunan AMDAL yang komprehensif dan objektif serta didasari oleh penelitian dan analisis yang sangat mumpuni. Menteri PPN dan Kepala BKPRN bisa menugaskan dua atau tiga perguruan tinggi nasional untuk menyusun AMDAL komprehensif tersebut. Penyusunan AMDAL tersebut harus pula dilakukan secara transparan dan akuntabel serta partisipatif untuk menata kembali rencana-rencana pembangunan pantai utara Jakarta yang memang sudah menurun kualitasnya.


Melalui AMDAL komprehensif yang betul-betul berkualitas, penulis memperkirakan desain reklamasi di pantai utara Jakarta masih dapat dikembangkan, namun tidak semasif desain reklamasi yang sudah masuk angin tersebut. Diperkirakan ada dua pulau yang bisa diciptakan melalui reklamasi yang terencana dengan baik. Kedua pulau tersebut masing-masing seluas 500 hektar dan berjarak cukup jauh sekitar 2 kilometer dari bibir pantai dan bukan terlalu dekat sejarak 200 meter seperti yang sudah direklamasi itu.


Sebagai penutup, tanpa arah kebijakan pembangunan yang baik serta penyiapan peran dan kapasitas kelembagaan publik yang tangguh, maka jangan harap pembangunan kota-kota di tanah air dapat dikendalikan secara objektif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Padahal UN-Habitat sudah menyatakan bahwa pembangunan kota-kota adalah kesempatan bagi setiap negara untuk mengentaskan kemiskinan. Tanpa perbaikan sistem pembangunan, maka rakyat golongan menengah bawah akan selalu tersisih dalam derap pembangunan kota-kota. Berbagai kasus seperti reklamasi pantai Jakarta juga akan bermunculan ibarat bom waktu di berbagai kota di tanah air.


Apa kita memang menginginkan KPK untuk terus menambah penyidiknya dan Kemenkumham perlu menambah personil sipir lapas lebih banyak lagi?




Bandung, 5 April 2016
M. Jehansyah Siregar, Ph.D
Dosen ITB